KPI Minta Klarifikasi Stasiun TV
JAKARTA- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan meminta klarifikasi stasiun televisi yang mencekal sejumlah iklan kampanye Mega-Prabowo. Dikhawatirkan, kasus tersebut muncul karena sikap tidak netral lembaga penyiaran itu.
"Bukan pada materi iklan. Tapi, ini soal keadilan dan memberikan kesempatan yang sama dalam menyiarkan iklan. Kami akan mencari apakah ada perlakuan diskriminatif atau tidak," kata anggota KPI Izzul Muslimin kemarin (22/6).
Itu adalah hasil keputusan rapat internal KPI mengenai .Jan Mega-Pro yang ditolak sejumlah lembaga penyiaran nasional. Hingga kemarin, yang menyatakan bersedia menyiarkan hanya SCTV dan Trans7. Sisanya, tim sukses Mega-Pro masih terus melobi.
Menurut Izzul, perlakuan lembaga penyiaran terhadap iklan tersebut bisa dianggap diskriminatif, bahkan partisan. Sebab, keputusan untuk menolak tayangan itu bukan kewenangan mereka. Padahal, dalam Undang-Undang Pilpres sudah disebutkan bahwa lembaga penyiaran tidak boleh berpihak. "Mereka harus netral," ujar Izzul yang juga koordinator pengawas pemilu dari KPI.
Namun, KPI hanya bisa menunggu laporan dari tim sukses Mega-Pro. Mereka tak bisa menindak dugaan pelanggaran apabila tidak ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan. "Kami baru bisa bergerak kalau mereka melapor. Kalau tidak, kami anggap tidak ada yang dirugikan penolakan penayangan oleh lembaga penyiaran itu," ujarnya.
Nah, apabila tim Mega-Pro melapor, KPI mengklarifikasi kepada lembaga penyiaran mengenai alasan penolakanmereka. "Kalau tidak jelas, kami bisa menindak mereka," ujarnya.
Informasi yang diterima Jawa Pos menyebutkan, penolakan lembaga penyiaran sebenarnya cukup beralasan. Mereka yang menolak menilai iklan tersebut cenderung menyerang salah satu pasangan calon. Indikasi adanya black campaign cukup kuat.
Head of Corporate Communication Metro TV Adjie Soera Atmadjie mengatakan bahwa pihaknya memiliki alasan kuat untuk menolak menayangkan iklan itu. "Kami tahu bahwa iklan tersebut sudah lulus sensor Tapi, kami sendiri juga punya self censorship (sensor internal. Red)," katanya saat dihubungi Jawa Pos di Jakarta kemarin.
Iklan tersebut, kata Adjie, tendensius. Apabila ditayangkan, iklan itu bisa membahayakan. Sebab, materi iklan tidak didukung data dan fakta. "Kami pikir, kalau ditayangkan, ini justru membuat kekacauan. Iya kalau apa yang disampaikan dalam iklan tersebut memiliki data. Kami oke-oke saja. Tapi, ternyata tidak. Kami akhirnya memutuskan untuk menolak," jelasnya.
Keputusan Metro TV tersebut, lanjut Adjie, berdasar Undang-Undang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). "Kita kan tidak diperbolehkan menayangkan berita bohong dan berbau fitnah. Bisa-bisa, kami yang dituntut," tuturnya.
Adjie menampik anggapan bahwa keputusan tersebut disebabkan keberpihakan pada calon tertentu. "Ini tidak ada hubungannya dengan demokrasi dan prinsip-prinspi menyampaikan pendapat. Ini murni muatan iklan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," katanya, (aga/tof)